Rabu, 09 September 2009

belajar memahami PIKIRAN


Apa sih yang tak bisa dipikirkan oleh pikiran? Apa sih yang tidak bisa terjangkau oleh pikiran? Mulai tetekbengek kehidupan dapur sampai teknologi intelejen superscience masih tetap dalam kendali pikiran...berada dalam ruang lingkup pikiran.

Hebatnya, pikiran sepertinya tidak mengenal putusasa untuk memperluas daya jelajahnya. Selalu saja menemukan sudutsudut terjauh yang baru. Selalu mengejutkan "pikiran" kita sendiri dengan keberadaannya.

Meski sering kita berkomentar bahwa pikiran kita "terbatas" namun aku yakin, sebagian dari kita hanya memakai istilah itu turun-temurun tanpa pernah mencoba menjelajah sampai tempat terjauh dari pikiran itu mampu berada.

Sebelum menjelajahi pikiran, ada baiknya kita harus tau, pikiran adalah daya yang "menghidupkan" seluruh pengalaman kita. Perangkatnya tak lain adalah inderaindera kita. Dialah agen terbaik dari pikiran untuk menyerap pengalamn. Tanpa indera yang sempurna bekerja, pikiran menjadi timpang. Tumpukan seluruh pengalaman dan kejadian ada disana, disimpan dalam otak kita. Ada yang tertimbun sehingga seolah kita lupa, ada pula yang tetap eksis muncul ketika kita mencoba mengaksesnya. Namun secara pasti tidak ada yang hilang dari seluruh pengalaman kita. Mungkin...disinilah bersemayamnya malaikat pencatat baik buruk kita.

Seringkali juga kita bertanyatanya, apakah mungkin kita melepaskan diri dari pikiran kita? Seperti apakah keadaannya bila kita melepas sama sekali pikiran kita itu, sehingga tidak ada pencerapan, tidak ada usaha untuk mengerti, menonaktifkan inderindera kita, melepaskan keikatankeikatan kita, keinginankeinginan kita, penilaian dsb. Apakah jadinya bila pikiran benabenar diam tak bergerak? Seperti apakah keadaannya?

Karena pikiran adalah pengendali otak kita, sedang otak adalah pengendali tubuh kita, maka pada saat pikiran diam, aktifitas fisikpun tidak ada. Lalu...apa artinya...namanya ketika pikiran kita diam seperti itu? Nah disinilah batas kerja otak berada. Pada saat itu otak tidak mampu lagi mencerap pengalaman yang berada diatas kesadaran . Dan..pada tahap seperti itu...kita berada pada sebuah tingkat kesadaran bernama kesadaran supra.
Karena pikiran tidak terbebani secara fisik, maka pada tahap seperti itu, dia lebih jernih lagi, lebih luas lagi mengawasi seluruh keadaan disekitarnya...didepannya. Benarkah...?

Jumat, 05 Juni 2009

HAMBA

Aku tak tahu persis makna asli dari kata "HAMBA" itu. Namun dibenakku masih jelas terekam bahwa hamba merujuk pada sebuah kata yaitu "BUDAK"...entah. Satu hal lagi...kata itu selalu mengingatkanku pada sebuah kejadian...beberapa kejadian (penggunaan kata itu) yang tak mampu aku pahami secara jelas hingga saat ini. Ya... aku masih ingat beberapa kejadian dimana kata "HAMBA" digabung dengan kata lain menjadi "HAMBA ALLAH" .... itu!!

Ratusan atau ribuan kali, kata tersebut sering tercerap masuk, baik berasal dari tulisan/ kata2 seseorang yang menganggap dirinya sebagai "HAMBA ALLAH". Awalnya aku kagum. Kata2 itu mampu membuat makna yang unik tentang hubungan mahluk dengan Tuhannya. Namun kian lama justru kata2 tersebut membuatku cukup nek, mendekati muak...bahkan antipati.

Bukan apa2, hanya saja peng-identikan kita denga kata 'hamba Allah' justru (bagi intelektualku yang terbatas) adalah sebaliknya. Tuhan malah (seolah) menjadi "BUDAK" dari keinginan2 kita, dengan doa2 yang kita taburkan di atmosphere spiritual kita. "Menganggap" bahwa kita adalah raga yang harus dilayani dengan ini itu.

Bukankah seorang budak (hamba Allah) seharusnya menerima apapun perintahNya untuk kemudian melaksanakan dengan tanpa melibatkan dualisme pikiran kita? Kenyataannya tidak!!! Kita seolah justru "mendikte"-Nya, mengeluh kepadaNya tentang takdir ke-hambaan kita. Lebih aneh lagi, seorang budak malah selalu dicukupi dengan segala macam berkahNya tanpa bisa "berbuat" apapun... kita malah dilayaniNya (kapan kita melayaninya?)... menakjubkan!!

Lalu...sampai disitu, bukankah Tuhan adalah "hamba" kita, 'budak" kita? Lalu...sampai disitu... Apakah kita masih cukup berani mentahbiskan diri kita sebagai HAMBA ALLAH???

Selasa, 05 Mei 2009

kau..begitu apa adanya

Tadi siang kami bertengkar lagi, selalu begitu...bahkan hal-hal sederhanapun kupertengkarkan. Lucunya, sering aku mempertengkarkan keadaan karena tak ada pertengkaran. Saat mo tidur bertengkar, bangun pagi...bertengkar, mandi...bertengkar, berpakaian, ngantor, pulang, makan malam...pokoknya bertengkar, selalu bertengkar.
Sebetulnya lebih tepat bukan bertengkar, tapi aku slalu ingin mengatur langkah-langkahnya...kemauannya...gerakannya. Ya...itu lebih tepat dan mengena.
Sering aku memanggilnya dengan Atma...Nafs...to malah dia lebih suka bila aku memanggil dia dengan sebutan Jiwa. Dan... sudah pasti serta jelas bahwa aku sendiri adalah Pikiran, mind...ya itu.
Namun, beberapa waktu ini dia tak meladeni gerak-geriku, hingga penasaran dibuatnya. Mau tak mau aku jadi bertanya, "kenapa kau terlihat begitu tenang? Bagus...bagus...sedang menyimpan energi ya?" tanyaku, yang dijawab dengan diam. Tak sepatah katapun kudengar...sepi. Aku sengaja mondar-mandir didpannya, bertingkah...mendesah...tapi tetap saja diam.
"Oke-oke aku kalah deh. Tak kan lagi aku mengusikmu. Kita sahabat kan? Kita saudara..." kataku sambil merangkulnya, mengusap2 punggungnya dengan lembut. Tapi tetap saja dia tak berreaksi. keki dibuatnya aku segera beranjak menjauh...lamat-lamat kudengar dia bersajak :

dalam tapa brata,
dalam khusuknya doa-doa,

dalam puja dan mantra,
dalam ziarah-ziarah suci,
ketika aku palingkan wajah darimu,
justru aku menatapmu.
Tiap kali aku berpuasa,
tiap kali aku mengasingkan diri,
tiap kali aku mendekatkan diri kepadaNya,
engkau justru kian erat memelukku.
Dimana ada tempat...engkau selalu ada,
dimana ada waktu...kau selalu disitu.
Oh...hanya ketika aku biarkan kau apa adanya,
hanya ketika kelembutan kasih tumbuh diladang-ladangku,
hanya ketika cahaya kebenaran kupetik sebagai pandu,
hanya ketika kidung-kidung suci kehidupan meluap disepanjang jalanku,
aku tak menemukanmu lagi...
kau tak menemuiku lagi...

Rabu, 22 April 2009

Dreamless Sleep

"Simple living means staying where you are and enjoying what you have. This...in my way of thinking, is simple living. " tuturnya suatu kali sambil membenahi kain kebesarannya yang putih kusam. Sebuah payung terlihat menggantung tenang dilengannya.
"Dreamless sleep." pikirku. Biarkan tidur kita tak gelisah karena mimpi-mimpi. Sekalipun mimpi itu indah dan begitu nyata, tetap saja hanya sebuah mimpi...bukan apa-apa!!!


Kamis, 02 April 2009

mahluk-mahluk kecil

"Mas...mas...."
Seorang
anak kecil berlari mendekatiku. Menceritakan dunianya yang sederhana...sangat sederhana. Tanpa prasangka dia menumpahkan seluruh cerita... imajinasi polosnya dengan sedikit bumbubumbu lucu.

Seringkali dia datang di workshopku yang serius, membawa balatentara anak-anak, memporakporandakan apa saja yang ada... menganggap dunia adalah tempat terindah buat bermain,  berekspresi... dokterdokteran... pasarpasaran... rumahrumahan... sekolahsekolahan... seperti itu, dengan benda-benda yang sama, alat-alat yang sama, dimana aku selalu menggunakannya tuk bekerja.

"Mas...mas...aku udah bisa menggambar huruf A,B,C!!!" teriaknya suatu hari. Sobekan kertas bergambar abjad-abjad morakmarik diperlihatkan justru ketika aku sangat serius mempersiapkan kerjaku... Mau tak mau aku geli juga melihat coretmoret yang nyeni ditangannya. Ha..ha..ha..aku sering tenggelam disitu, mengajarinya "menggambar" huruf demi huruf... hingga lupa pekerjaanku yang terbengkalai bisa bawa petaka.

"Mas...mas..."
Kini dia datang lagi. Tubuhnya basah kuyup. Air menetes deras dari ujung-ujung bajunya. Membasahi workshopku... mematahkan konsentrasiku. Tapi dengan riang dia mencipratiku... mengajak bermain, membuat jejak-jejak... membuat tetes-tetes ditiap sudut tanpa sisa.

"Mas...mas...aku udah mandi. Coba cium...! Wangi, kan?" katanya ceria dikesempatan lain. Dia memeluk, lalu mencoba duduk dipangkuanku, menikmati kenyamanan...

"Mas..mas..."
Lagi-lagi dia datang. Mahluk kecil yang biasanya ceria ini kini menangis, berharap aku menentramkannya... mengembalikan dunianya... keceriaan-nya... yang masih sempurna apa adanya.

Hmm...bukankah pada saat-saat seperti itu seharusnya kita telah menjadi dewasa? Lebih dewasa?

Minggu, 01 Maret 2009

HIDUP DAMAI

Sering aku membayangkan, bumi menjadi hijau. Polusi yang mendekati nihil, kebisingan yang tersembunyi pada kicau burung
yang begitu bebas, bergerak tanpa kekhawatiran dan rasa takut pada manusia.
Unggas ada dimana-mana dengan bijian yang melimpah, serangga2 bersayap yang berusaha keluar dari bumi, harum tanah yang mengembang, air2 jernih mengalir disela batuan...begitu alami. tanpa campur tangan kita, tanpa usaha kita tuk merusaknya.
Kita tak perlu berburu, hidup yang sederhana apa adanya, intelektual yang termurnikan oleh batin yang jaga, teknologi yang tak menghancurkan, selaras dengan alam...dan toleransi tumbuh subur...kepada siapa saja...apa saja.
Makanan kita dapat tanpa kekerasan, tanpa harus "membantai" demi ego & "kenikmatan" lidah semata. Hanya makan makanan yang menimbulkan ketenangan, yang menjernihkan pikiran kita. hingga ketenangan itu...kejernihan itu...mampu mengimbasi sekeliling kita.
Sering aku membayangkan dunia tanpa tentara karena tak ada yang perlu dijaga, tak ada yang mengusik dan terusik...damai...hukum yang sangat dihormati, harmonisasi antar negara, suku aliran2...agama2...individu2...dan pada kehidupan itu sendiri.
Aku membayangkan..dan terus membayangkan dengan kuat, memulainya dengan diriku sendiri agar bisa terwujud...mampukah ???

Minggu, 15 Februari 2009

TIKUS ITU...



"Sialan...!!! Kacau..kacau...!!!"

"Kenapa?"

"Tikus ...keparat!!! Mereka ada dimana-mana!!"

"Apa ada yang salah dengan mereka?"

"Kau ini... mereka menjijikan, rumahku jadi kotor. Bajuku, kertas kerjaku...perabotanku...apa saja, hancur mereka makan."

"Kukira sepadan...impas"

"Maksudmu????"

"Aku tau, sebelum kau bangun rumahmu ini, dulu adalah tegalan, ratusan lubang rumah tikus ada disitu. Lalu...tanpa ijin mereka, kau menimbunnya, meratakan dan memadatkannya. Berapa lubang tikus beserta penghuninya telah kau hancurkan, musnahkan? Mungkin mereka yang katamu menjijikan itu hanya sekedar mengingatkan ketidaksetujuan mereka atas pemusnahan beberapa generasi keturunan mereka yang kau lakukan."

"Huh... dasar tukang ngaco. Tikus kau belain!!!" teriaknya.

Seekor tikus kulihat menyeringai mendengar kata-kataku dan seakan mengiyakan apa yang kutuduhkan itu. Aku hanya tersenyum....

"Kacauuuu...!!!!"

Jumat, 13 Februari 2009

SEBONGKAH BATU YANG TERTANAM DI DEPAN PINTU


Siapapun  yang berkunjung kerumahku akan melihat dan bertanya...:

"Kenapa kau tanam sebongkah batu besar di depan pintu? Bukankah itu akan menghalangi langkah siapa saja yang akan berkunjung kerumahmu?"

Dan aku akan menjawabnya dengan tersenyum...Dan telah ribuan kali aku tersenyum sama persis. Tiap kali mereka datang dengan pertanyaan yang sama.

Sampai kemudian suatu hari, seorang pengelana berjubah kuning, tubuh yang ceking kerempeng melintas didepan rumahku.

Sesaat dia memperhatikan bongkahan batu yang tertanam di depan pintuku. Keheranan tak tersembunyi dari mata lembutnya, langkah tenangnya kini terhenti.... "kenapa kau tanam batu di depan pintu?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dan...jelas aku segera menjawabnya dengan tersenyum, selalu begitu.

"Tidakkah kau takut batu itu tumbuh dan menutup pintumu? Menghalangi perjalanan yang mesti kau lakukan?"

Kali ini aku tak bisa hanya tersenyum..."Biarlah...toh aku tak pernah sekalipun melihat batu bisa tumbuh besar seperti ketakutanmu itu."

Kini dia tersenyum...mata lembutnya terlihat memancarkan sinar tajam...entah kenapa. Sebelum kesan lain tertangkap, dia beranjak pergi

"Ha.ha.ha...ada-ada saja pengelana itu. Aku yang menanam, malah dia yang takut. Lagipula, semenjak kapan ada batu bisa tumbuh?"

Esoknya...aku dibuat kaget. Batu itu tlah berubah sedikit lebih besar dari kemarin. Hanya sedikit, atau mungkin hanya perasaanku, penglihatanku saja yang tertipu...tersugesti kata-kata pengelana itu...sialan. Lalu aku melupakan batu itu seharian.

Pada hari berikutnya  aku jadi peduli lagi. Kini nampak sekali bahwa batu itu benar-benar tumbuh  membesar. Tusap n'Dai yang kebetulan lewat juga membenarkan kecurigaanku. Ya...batu itu kini benar-benar tumbuh...membesar.

Beberapa hari kemudian, ketakutanku mulai menyergap. Jelas sekali ruang gerak keluar masuk pintu semakin sempit. Hingga aku benar-benar tak bisa lewat, tak bisa keluar samasekali. Dengan bergegas kuambil palu besar di gudang. Beberapakali kuhantamkan sekuat tenaga, berharap batu itu pecah, tapi benturan palu itu tak menggoyahkannya. Bahkan batu itu seperti tak peduli usahaku. Dia terus membesar dan membesar lagi. Mengurungku dalam rumahku sendiri, menghalangi perjalananku....

TUHAN YANG TERPENJARA

Mendatangi sahabatku yeng terlihat sangatsangat sedih, aku jadi bertanya, "Kenapa sahabat?" Dia hanya menatap kedalam mataku sekilas, lalu tertunduk lagi.

"Derita apa yang kau emban sahabat? bukankah kau Sang periang?" tanyaku lagi.

Sekali lagi dia menoleh, menatap jauh kedalam mataku, menembus batin, seakan dia mencoba mengguyur batinku dengan segenap kesedihan yang disandangnya. Aku jadi terharu.

"Aku terkutuk!!!!" desahnya dengan nafas tak teratur.

"Ahhh....kenapa kau risaukan itu sahabat? Bukankah kita masih bisa memperbaiki tiap kesalahan yang kita perbuat?"

"Bukan yang ini...kau tak mungkin mengerti." dengusnya kejam...

"Beritahu aku, aku akan berusaha mencernanya, siapa tahu? bukankah engkau pernah berkata...bahkan siapa dan apapun bisa menjadi guru buat kita? Lupakah?"

Sejenak dia menarik nafas panjang, menatapku sekali lagi...mengembara hingga sudut batinku yang terjauh.

"Aku telah memenjara Tuhan dalam pikiranku. Berkalikali aku mencoba membebaskanNya, namun Tuhan tetap terpenjara disana..."

Sang periang...sahabatku segera menutup raut mukanya dengan kedua belah tangan, menangis tersedu. Lalu diapun jatuh bersimpuh berurai air mata.

Aku tertampar dan batinku terguncang begitu kuat...begitu hebat, hingga mambangunkan jiwaku yang telah begitu lama tertidur pulas dipersemayamannya.

Segera kupeluk sang periang, sahabatku, kuajak berdiri, kurangkul erat sebagai rasa terimakasihku padanya karena...dengan kesedihannya, keterkutukannya, dia telah membuka pintu penjara Tuhan dalam pikiranku. Terimakasih sahabat...