Minggu, 15 Februari 2009

TIKUS ITU...



"Sialan...!!! Kacau..kacau...!!!"

"Kenapa?"

"Tikus ...keparat!!! Mereka ada dimana-mana!!"

"Apa ada yang salah dengan mereka?"

"Kau ini... mereka menjijikan, rumahku jadi kotor. Bajuku, kertas kerjaku...perabotanku...apa saja, hancur mereka makan."

"Kukira sepadan...impas"

"Maksudmu????"

"Aku tau, sebelum kau bangun rumahmu ini, dulu adalah tegalan, ratusan lubang rumah tikus ada disitu. Lalu...tanpa ijin mereka, kau menimbunnya, meratakan dan memadatkannya. Berapa lubang tikus beserta penghuninya telah kau hancurkan, musnahkan? Mungkin mereka yang katamu menjijikan itu hanya sekedar mengingatkan ketidaksetujuan mereka atas pemusnahan beberapa generasi keturunan mereka yang kau lakukan."

"Huh... dasar tukang ngaco. Tikus kau belain!!!" teriaknya.

Seekor tikus kulihat menyeringai mendengar kata-kataku dan seakan mengiyakan apa yang kutuduhkan itu. Aku hanya tersenyum....

"Kacauuuu...!!!!"

Jumat, 13 Februari 2009

SEBONGKAH BATU YANG TERTANAM DI DEPAN PINTU


Siapapun  yang berkunjung kerumahku akan melihat dan bertanya...:

"Kenapa kau tanam sebongkah batu besar di depan pintu? Bukankah itu akan menghalangi langkah siapa saja yang akan berkunjung kerumahmu?"

Dan aku akan menjawabnya dengan tersenyum...Dan telah ribuan kali aku tersenyum sama persis. Tiap kali mereka datang dengan pertanyaan yang sama.

Sampai kemudian suatu hari, seorang pengelana berjubah kuning, tubuh yang ceking kerempeng melintas didepan rumahku.

Sesaat dia memperhatikan bongkahan batu yang tertanam di depan pintuku. Keheranan tak tersembunyi dari mata lembutnya, langkah tenangnya kini terhenti.... "kenapa kau tanam batu di depan pintu?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dan...jelas aku segera menjawabnya dengan tersenyum, selalu begitu.

"Tidakkah kau takut batu itu tumbuh dan menutup pintumu? Menghalangi perjalanan yang mesti kau lakukan?"

Kali ini aku tak bisa hanya tersenyum..."Biarlah...toh aku tak pernah sekalipun melihat batu bisa tumbuh besar seperti ketakutanmu itu."

Kini dia tersenyum...mata lembutnya terlihat memancarkan sinar tajam...entah kenapa. Sebelum kesan lain tertangkap, dia beranjak pergi

"Ha.ha.ha...ada-ada saja pengelana itu. Aku yang menanam, malah dia yang takut. Lagipula, semenjak kapan ada batu bisa tumbuh?"

Esoknya...aku dibuat kaget. Batu itu tlah berubah sedikit lebih besar dari kemarin. Hanya sedikit, atau mungkin hanya perasaanku, penglihatanku saja yang tertipu...tersugesti kata-kata pengelana itu...sialan. Lalu aku melupakan batu itu seharian.

Pada hari berikutnya  aku jadi peduli lagi. Kini nampak sekali bahwa batu itu benar-benar tumbuh  membesar. Tusap n'Dai yang kebetulan lewat juga membenarkan kecurigaanku. Ya...batu itu kini benar-benar tumbuh...membesar.

Beberapa hari kemudian, ketakutanku mulai menyergap. Jelas sekali ruang gerak keluar masuk pintu semakin sempit. Hingga aku benar-benar tak bisa lewat, tak bisa keluar samasekali. Dengan bergegas kuambil palu besar di gudang. Beberapakali kuhantamkan sekuat tenaga, berharap batu itu pecah, tapi benturan palu itu tak menggoyahkannya. Bahkan batu itu seperti tak peduli usahaku. Dia terus membesar dan membesar lagi. Mengurungku dalam rumahku sendiri, menghalangi perjalananku....

TUHAN YANG TERPENJARA

Mendatangi sahabatku yeng terlihat sangatsangat sedih, aku jadi bertanya, "Kenapa sahabat?" Dia hanya menatap kedalam mataku sekilas, lalu tertunduk lagi.

"Derita apa yang kau emban sahabat? bukankah kau Sang periang?" tanyaku lagi.

Sekali lagi dia menoleh, menatap jauh kedalam mataku, menembus batin, seakan dia mencoba mengguyur batinku dengan segenap kesedihan yang disandangnya. Aku jadi terharu.

"Aku terkutuk!!!!" desahnya dengan nafas tak teratur.

"Ahhh....kenapa kau risaukan itu sahabat? Bukankah kita masih bisa memperbaiki tiap kesalahan yang kita perbuat?"

"Bukan yang ini...kau tak mungkin mengerti." dengusnya kejam...

"Beritahu aku, aku akan berusaha mencernanya, siapa tahu? bukankah engkau pernah berkata...bahkan siapa dan apapun bisa menjadi guru buat kita? Lupakah?"

Sejenak dia menarik nafas panjang, menatapku sekali lagi...mengembara hingga sudut batinku yang terjauh.

"Aku telah memenjara Tuhan dalam pikiranku. Berkalikali aku mencoba membebaskanNya, namun Tuhan tetap terpenjara disana..."

Sang periang...sahabatku segera menutup raut mukanya dengan kedua belah tangan, menangis tersedu. Lalu diapun jatuh bersimpuh berurai air mata.

Aku tertampar dan batinku terguncang begitu kuat...begitu hebat, hingga mambangunkan jiwaku yang telah begitu lama tertidur pulas dipersemayamannya.

Segera kupeluk sang periang, sahabatku, kuajak berdiri, kurangkul erat sebagai rasa terimakasihku padanya karena...dengan kesedihannya, keterkutukannya, dia telah membuka pintu penjara Tuhan dalam pikiranku. Terimakasih sahabat...